KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun ucapkan kepada Tuhan Yang
Maha Esa atas kesehatan dan kesempatan yang diberikan kepada penyusun sehingga
penyusun dapat menyelesaikan makalah Sejarah Kebudayaan Indonesia yang berjudul
“Keberadaan Gordang Sambilan di Jurusan Etnomusikologi USU”.
Adapun
gordang sambilan merupakan alat musik tradisional yang berasal dari sebuah
daerah di Provinsi Sumatera Utara yakni Mandailing. Tidak cukup di Mandailing
saja, ternyata gordang sambilan telah menyentuh dunia kampus.Seperti yang
penyusun angkat yaitu di jurusan etnomusikologi Universitas Sumatera
Utara.Gordang sambilan sendiri merupakan visualisasi dari gendangnya yang
berjumlah sembilan buah.Dan merupakan long dram terpanjang di dunia.
Rasa terima kasih yang tiada terkira penyusun ucapkan kepada Ibu Dra. Lyla Pelita Hati selaku dosen dari mata kuliah Sejarah Kebudayaan Indonesia (SKI) yang telah memberikan pengarahan tentang kebudayaan masyarakat Indonesia kepada penyusun yang merupakan mahasiswa jurusan Sastra China. Ucapan terima kasih yang mendalam kepada Bapak Drs.Fadlin (Kepala Laboratorium Etnomusikologi USU) dan Drs.Sobir Lubis,SH (Pengurus Kadin Sumatera Utara) sebagai narasumber pada observasi ini. Banyak sekali penuturan dan penjelasan mengenai keberadaan gordang sambilan di jurusan etnomusikologi USU ini kepada penyusun. Rasa kasih berikutnya kepada Bapak Pulungan (bag.kelengkapan FIB USU) dan Afrindo, Erwin, Ardy (mahasiswa etnomusikologi USU satambuk 2011) yang juga sebagai narasumber pada observasi ini. Selanjutnya terima kasih yang tidak kalag penting kepada Chen shushu (dosen Sastra China) yang telah memberikan izin kepada penyusun untuk meninggalkan mata kuliahnya ketika akan melakukan wawancara.
Rasa terima kasih yang tiada terkira penyusun ucapkan kepada Ibu Dra. Lyla Pelita Hati selaku dosen dari mata kuliah Sejarah Kebudayaan Indonesia (SKI) yang telah memberikan pengarahan tentang kebudayaan masyarakat Indonesia kepada penyusun yang merupakan mahasiswa jurusan Sastra China. Ucapan terima kasih yang mendalam kepada Bapak Drs.Fadlin (Kepala Laboratorium Etnomusikologi USU) dan Drs.Sobir Lubis,SH (Pengurus Kadin Sumatera Utara) sebagai narasumber pada observasi ini. Banyak sekali penuturan dan penjelasan mengenai keberadaan gordang sambilan di jurusan etnomusikologi USU ini kepada penyusun. Rasa kasih berikutnya kepada Bapak Pulungan (bag.kelengkapan FIB USU) dan Afrindo, Erwin, Ardy (mahasiswa etnomusikologi USU satambuk 2011) yang juga sebagai narasumber pada observasi ini. Selanjutnya terima kasih yang tidak kalag penting kepada Chen shushu (dosen Sastra China) yang telah memberikan izin kepada penyusun untuk meninggalkan mata kuliahnya ketika akan melakukan wawancara.
Akhir
kata, makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Penyusun hanya berupaya untuk
tetap memberikan hasil yang maksimal, namun kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat penyusun harapkan demi terciptanya makalah yang lebih baik
nantinya.
Medan,
30 November 2012
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
..........................................................................................................1
DAFTAR ISI
..........................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
............................................................................................................3
1.1 Gordang
Sambilan..................................................................................................3
1.2 Kegunaan Gordang
Sambilan.................................................................................6
BAB II PEMBAHASAN
2. Keberadaan Gordang Sambilan di Etnomusikologi
USU...........................................7
2.1 Periode Awal..........................................................................................................7
2.2 Bentuk Gordang
Sambilan......................................................................................8
2.3 Gordang Sambilan yang Ada di Etnomusikologi
USU..........................................8
2.4 Prestasi Gordang Sambilan Etnomusikologi
USU.................................................9
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan.............................................................................................................11
3.2 Saran.......................................................................................................................11
DAFTAR
PUSTAKA...............................................................................................................12
BAB 1
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
1.1
Gordang Sambilan
Istilah "gondang" dalam bahasa Mandailing memiliki banyak arti
antara lain: alat musik, gabungan dari beberapa alat musik (ensambel), nama
lagu atau repertoar, irama atau pola ritmik, sebagai musik itu sendiri dan
jenis musik tertentu. Sedangkan istilah "Mandailing" mengandung
pengertian "budaya" dan "teritorial", artinya suatu
kelompok etnik yang mendiami dataran tinggi di pedalaman pantai barat daya
pulau Sumatra dengan batas-batas wilayah tertentu. Sehubungan dengan itulah
situs ini diberi nama GONDANG MANDAILING yang isinya memuat informasi tentang seni
dan budaya tradisional masyarakat Mandailing.
Ruang
simbolik ekologis secara sederhana adalah ruang penggunaan kearifan budaya
dalam bentuk material dasar Gordang Sambilan dan perubahan yang terjadi pada
saat sekarang ini. Simbolik ekologis mencakup produksi simbol
sosial dalam ruang urban (kota), ini memberi gambaran bahwa simbolik ekologis
timbul karena adanya permintaan ekologis yang disesuaikan dengan ruang dan
konteksnya, gambaran ini akan mengantarkan pada pemahaman mengenai imaji ruang
simbolik ekologis yang terjadi pada Gordang Sambilan di Kota Medan. Nas (1998)
memberi gambaran jelas mengenai simbolik ekologis sebagai proses elaborasi
antara kemampuan kultural dengan ekologi sosial, dimana situasi ekologi
bergantung dengan kemampuan dan ketersediaan pada konteks kehidupan sosial
masyarakat. Keadaan ini menyebabkan manusia memiliki kemampuan adaptasi yang
dipraktekkan dalam usaha menyesuaikan kehidupan dengan ketersediaan alam. Untuk
menemukan pola interaksi antara sosial masyarakat dan ekologis maka penting
untuk mendudukan pemahaman mengenai sosial masyarakat (etnis) dan ekologis yang
terbentuk dari wilayah kekuasaan sosial masyarakat tersebut.
Suku dapat dilihat sebagai suatu kesatuan komunal yang menetap pada suatu wilayah serta dibatasi oleh batas-batas geografis, pendapat ini mungkin memiliki kebenaran pada satu sisi namun pada sisi lainnya pendapat ini memiliki kekurangan dalam mendeskripsikan apa sesungguhnya suku. Definisi tentang suku Batak (Purba, 2004:50-51) adalah terdiri dari enam sub-grup, yaitu Toba, Simalungun, Karo, Pakpak, Mandailing dan Angkola, keenam sub-group tersebut terdistribusi di sekeliling Danau Toba kecuali Mandailing dan Angkola yang hidup relatif jauh dari daerah Danau Toba, dekat ke perbatasan Sumatera Barat, di dalam kehidupan sehari-hari banyak orang mengasosiasikan kata “Batak” dengan “orang Batak Toba”. Sebaliknya grup yang lain lebih memilih menggunakan nama sub-grupnya seperti Karo, Pakpak, Simalungun, Mandailing dan Angkola. Keberadaan Batak sebagai bentuk masyarakat dengan karakteristik dinamis dan memiliki kepercayaan diri yang tinggi serta faktor perubahan yang menyebabkannya diungkapkan oleh Sibeth (1991:7) sebagai :“The Batak are very dynamic and self confidence people. Over the centuries they have able to guard their homeland against intrusion by foreigners, and it is only in the last 100 years that their way of life and culture has undergone a great change under the impact Christianity, Islam and colonialism.” Mengutip tulisan Kozok (2009:11) yang menjelaskan mengenai penggunaan istilah “Batak” yang pada saat ini sudah jarang dipergunakan sebagai istilah yang merujuk pada kelompok etnis, walaupun pada awalnya istilah “Batak” lazim dipergunakan pada masa prakolonial hingga awal penjajahan untuk merujuk pada kelompok etnis Batak itu sendiri. Hodges (2009:75) turut memberikan definisi mengenai Batak sebagai bentuk suku (etnis) yang mendiami wilayah Sumatera Utara dan terbagi atas enam sub-grup Batak1 (Toba, Simalungun, Karo, Pakpak, Mandailing, Angkola) yang berbagi persamaan dalam aspek struktur sosial, adat dan sejarah. Secara linguistik2, Batak terbagi atas tiga wilayah, yaitu : a. Mandailing, Angkola dan Toba di wilayah selatan, b. Pakpak dan Karo di utara, c. Simalungun di wilayah timur laut. Batak dalam persepsi kebudayaan dapat diterjemahkan sebagai suku yang mendiami wilayah geografis Sumatera Utara, namun pendapat lainnya mengatakan bahwa Batak tidak terbatas pada wilayah geografis Sumatera Utara saja melainkan diluar cakupan tersebut juga termasuk sebagai bagian Batak dengan syarat mutlak memiliki garis keturunan Batak (patrilineal). Secara geografis suku Batak-Mandailing mencakup wilayah Tapanuli Selatan secara umum, wilayah Tapanuli Selatan terdiri beberapa bagian, yaitu : Kota Padang Sidempuan, Padang Lawas Utara, Padang Lawas Selatan, dan Mandailing Natal. Berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 1998 dibentuk Kabupaten Mandailing Natal yang terpisah dari Kabupaten Tapanuli Selatan. Deskripsi mengenai suku Batak-Mandailing penting untuk menegaskan masyarakat yang menjadi pengguna hasil ekologis.
Gordang Sambilan sebagai bentuk alat musik pukul (membranophone) merupakan identitas musik yang dimiliki oleh masyarakat Batak-Mandailing, Gordang Sambilan memiliki karakteristik sebagai alat musik pukul yang berasal dari Sumatera Utara Gordang Sambilan secara harfiah berarti sembilan buah gendang, Sembilan buah gendang yang terkait dengan instrumen musik lainnya, pengertian Gordang Sambilan merupakan penjelasan yang mencakup keseluruhan ensambel Gordang Sambilan termasuk gong, simbal, dan alat musik tiup masyarakat Mandailing.Pengertian secara harfiah gondang mengandung beberapa arti: (1) alat musik; (2) nama lagu atau repertoar; (3) komposisi musik; (4) jenis musik tertentu; dan (5) sebagai musik itu sendiri. Istilah Gordang, ada kaitanya dengan sistem bercocok tanam orang Mandailing di hauma (berladang di bukit-bukit, baik tanaman palawija maupun padi). Dalam bercocok tanam di hauma ini, ada satu alat semacam "tugal" yang disebut ordang yang digunakan untuk melubangi tanah, setelah tanah berlubang barulah biji-biji tanaman dimasukkan ke dalam tanah dan kemudian ditutup seperlunya dengan tanah. Proses kegiatan bercocok tanam ini disebut mangordang, sedangkan Siregar (1977:87) mendefinisikan Gondang merupakan gendang, dalam arti gondang tunggu-tunggu dua, Gordang adalah gendang, dalam artian sebagai gendang besar (dalam hal ini Gordang Sambilan).
Kaitan antara materi pembentuk (ekologis) dan ritual (simbol) menciptakan suatu kondisi sosial yang terlegitimasi kepada penggunaan Gordang Sambilan yang sarat nilai-nilai ritual-magis. Gordang Sambilan memiliki hubungan ritual, dimana ideologi Gordang Sambilan didasarkan pada interaksi antara masyarakat (manusia) dengan Tuhan (Dewata ataupun penguasa alam) yang diaplikasikan pada bentuk Gordang Sambilan yang besar dari segi ukuran dan suara yang menggemuruh, kesemua hal tersebut bertujuan mendukung korelasi interaksi antara manusia dan “penguasa alam”, yang digambarkan secara umum sebagai sosok yang memiliki kelebihan dari mahluk secara manusiawi. Gordang Sambilan berdasarkan ekologis materi pembentuknya terbuat dari kayu ingul (Ruta Angustifola) yaitu sejenis kayu hutan dengan dinding serat yang tebal dan tidak mudah pecah serta memiliki ketahanan terhadap air. Pilihan rasional atas materi pembentuk Gordang Sambilan memberi petunjuk bahwa nenek moyang Batak-Mandailing pada masa itu telah memiliki pengetahuan yang cukup memadai atas materi pembentuk Gordang Sambilan yang kuat, tahan lama dan juga sebagai pemberian guna kembali kepada roh leluhur atas limpahan kekayaan alam. Dahulunya materi pembentuk Gordang Sambilan dipilih dari beberapa kayu yang ditebang dan diambil dari beberapa hutan serta gunung, kearifan tradisional ini bertujuan melindungi penggunaan hutan secara berlebih sehingga dalam pengambilan pohon tersebut disertai dengan ritual-ritual dan pembacaan mantra tertentu yang ditujukan kepada roh nenek moyang agar mengizinkan pohon tersebut ditebang.
Suku dapat dilihat sebagai suatu kesatuan komunal yang menetap pada suatu wilayah serta dibatasi oleh batas-batas geografis, pendapat ini mungkin memiliki kebenaran pada satu sisi namun pada sisi lainnya pendapat ini memiliki kekurangan dalam mendeskripsikan apa sesungguhnya suku. Definisi tentang suku Batak (Purba, 2004:50-51) adalah terdiri dari enam sub-grup, yaitu Toba, Simalungun, Karo, Pakpak, Mandailing dan Angkola, keenam sub-group tersebut terdistribusi di sekeliling Danau Toba kecuali Mandailing dan Angkola yang hidup relatif jauh dari daerah Danau Toba, dekat ke perbatasan Sumatera Barat, di dalam kehidupan sehari-hari banyak orang mengasosiasikan kata “Batak” dengan “orang Batak Toba”. Sebaliknya grup yang lain lebih memilih menggunakan nama sub-grupnya seperti Karo, Pakpak, Simalungun, Mandailing dan Angkola. Keberadaan Batak sebagai bentuk masyarakat dengan karakteristik dinamis dan memiliki kepercayaan diri yang tinggi serta faktor perubahan yang menyebabkannya diungkapkan oleh Sibeth (1991:7) sebagai :“The Batak are very dynamic and self confidence people. Over the centuries they have able to guard their homeland against intrusion by foreigners, and it is only in the last 100 years that their way of life and culture has undergone a great change under the impact Christianity, Islam and colonialism.” Mengutip tulisan Kozok (2009:11) yang menjelaskan mengenai penggunaan istilah “Batak” yang pada saat ini sudah jarang dipergunakan sebagai istilah yang merujuk pada kelompok etnis, walaupun pada awalnya istilah “Batak” lazim dipergunakan pada masa prakolonial hingga awal penjajahan untuk merujuk pada kelompok etnis Batak itu sendiri. Hodges (2009:75) turut memberikan definisi mengenai Batak sebagai bentuk suku (etnis) yang mendiami wilayah Sumatera Utara dan terbagi atas enam sub-grup Batak1 (Toba, Simalungun, Karo, Pakpak, Mandailing, Angkola) yang berbagi persamaan dalam aspek struktur sosial, adat dan sejarah. Secara linguistik2, Batak terbagi atas tiga wilayah, yaitu : a. Mandailing, Angkola dan Toba di wilayah selatan, b. Pakpak dan Karo di utara, c. Simalungun di wilayah timur laut. Batak dalam persepsi kebudayaan dapat diterjemahkan sebagai suku yang mendiami wilayah geografis Sumatera Utara, namun pendapat lainnya mengatakan bahwa Batak tidak terbatas pada wilayah geografis Sumatera Utara saja melainkan diluar cakupan tersebut juga termasuk sebagai bagian Batak dengan syarat mutlak memiliki garis keturunan Batak (patrilineal). Secara geografis suku Batak-Mandailing mencakup wilayah Tapanuli Selatan secara umum, wilayah Tapanuli Selatan terdiri beberapa bagian, yaitu : Kota Padang Sidempuan, Padang Lawas Utara, Padang Lawas Selatan, dan Mandailing Natal. Berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 1998 dibentuk Kabupaten Mandailing Natal yang terpisah dari Kabupaten Tapanuli Selatan. Deskripsi mengenai suku Batak-Mandailing penting untuk menegaskan masyarakat yang menjadi pengguna hasil ekologis.
Gordang Sambilan sebagai bentuk alat musik pukul (membranophone) merupakan identitas musik yang dimiliki oleh masyarakat Batak-Mandailing, Gordang Sambilan memiliki karakteristik sebagai alat musik pukul yang berasal dari Sumatera Utara Gordang Sambilan secara harfiah berarti sembilan buah gendang, Sembilan buah gendang yang terkait dengan instrumen musik lainnya, pengertian Gordang Sambilan merupakan penjelasan yang mencakup keseluruhan ensambel Gordang Sambilan termasuk gong, simbal, dan alat musik tiup masyarakat Mandailing.Pengertian secara harfiah gondang mengandung beberapa arti: (1) alat musik; (2) nama lagu atau repertoar; (3) komposisi musik; (4) jenis musik tertentu; dan (5) sebagai musik itu sendiri. Istilah Gordang, ada kaitanya dengan sistem bercocok tanam orang Mandailing di hauma (berladang di bukit-bukit, baik tanaman palawija maupun padi). Dalam bercocok tanam di hauma ini, ada satu alat semacam "tugal" yang disebut ordang yang digunakan untuk melubangi tanah, setelah tanah berlubang barulah biji-biji tanaman dimasukkan ke dalam tanah dan kemudian ditutup seperlunya dengan tanah. Proses kegiatan bercocok tanam ini disebut mangordang, sedangkan Siregar (1977:87) mendefinisikan Gondang merupakan gendang, dalam arti gondang tunggu-tunggu dua, Gordang adalah gendang, dalam artian sebagai gendang besar (dalam hal ini Gordang Sambilan).
Kaitan antara materi pembentuk (ekologis) dan ritual (simbol) menciptakan suatu kondisi sosial yang terlegitimasi kepada penggunaan Gordang Sambilan yang sarat nilai-nilai ritual-magis. Gordang Sambilan memiliki hubungan ritual, dimana ideologi Gordang Sambilan didasarkan pada interaksi antara masyarakat (manusia) dengan Tuhan (Dewata ataupun penguasa alam) yang diaplikasikan pada bentuk Gordang Sambilan yang besar dari segi ukuran dan suara yang menggemuruh, kesemua hal tersebut bertujuan mendukung korelasi interaksi antara manusia dan “penguasa alam”, yang digambarkan secara umum sebagai sosok yang memiliki kelebihan dari mahluk secara manusiawi. Gordang Sambilan berdasarkan ekologis materi pembentuknya terbuat dari kayu ingul (Ruta Angustifola) yaitu sejenis kayu hutan dengan dinding serat yang tebal dan tidak mudah pecah serta memiliki ketahanan terhadap air. Pilihan rasional atas materi pembentuk Gordang Sambilan memberi petunjuk bahwa nenek moyang Batak-Mandailing pada masa itu telah memiliki pengetahuan yang cukup memadai atas materi pembentuk Gordang Sambilan yang kuat, tahan lama dan juga sebagai pemberian guna kembali kepada roh leluhur atas limpahan kekayaan alam. Dahulunya materi pembentuk Gordang Sambilan dipilih dari beberapa kayu yang ditebang dan diambil dari beberapa hutan serta gunung, kearifan tradisional ini bertujuan melindungi penggunaan hutan secara berlebih sehingga dalam pengambilan pohon tersebut disertai dengan ritual-ritual dan pembacaan mantra tertentu yang ditujukan kepada roh nenek moyang agar mengizinkan pohon tersebut ditebang.
1.2
Kegunaan
Gordang Sambilan
Pada hakikatnya fungsi dan kegunaan Gordang
sambilan tidak berubah namun pada zaman sekarang penggunaannya lebih luas seiring dengan perkembangan musik yang di
kenal pada saat sekarang ,dimana gondang sambilan ini
dapat tergolong ke dalam musik kontemporer dalam beberapa pergelaran musik yang
diselenggarakan.
Sedangkan penggunaannya dalam upacara adat, Gordang
Sambilan dimainkan pada upacara perkawinan yang dinamakan Orja
Godang Markaroan Boru dan upacara
kematian yang dinamakan Orja Mambulungi. Penggunaan Gordang
Sambilan untuk kedua upacara adat tersebut, karena untuk kepentigan
pribadi maka harus lebih dahulu mendapat izin dari pemimpin tradisional yang
dinamakan Namora
Natoras dan Raja Panusunan Bulung sebagai
kepala pemerintahan Huta/Banua. Permohonan izin itu
dilakukan melalui suatu musyawarah adat yang disebut Markobar
Adat yang dihadiri oleh tokoh-tokoh Namora Natoras dan Raja
Panusunan Bulung beserta pihak yang akan menyelenggarakan upacara
adat. Selain harus mendapat izin dari Namora Natoras dan Raja
Panusunan Bulung untuk penggunaan Gordang Sambilan dalam kedua
upacara tersebut, harus pula disembelih paling sedikit satu ekor kerbau jantan
dewasa yang disebut longit. Jika persaratan
tersebut tidak dipenuhi maka Gordang Sambilan tidak boleh
digunakan. Dapat ditambahkan bahwa untuk upacara kematian (Orja
Manbulungi), gordang yang digunakan hanya
dua buah yang terbesar yang dinamakan Jangat, namun dalam konteks
penyelenggaraan upacara kematian dinamakan Bombat.
BAB II
PEMBAHASAN
2.
Keberadaan Gordang Sambilan di Etnomusikologi
2.1 Periode Awal
Keberadaan
gordang sambilan di etnomusikologi USU untuk pertama kalinya pada tahun 1979
seiring dengan didirikannya satu Program Studi baru yaitu Etnomusikologi.
Dengan diprakarsai oleh para pemikir kebudayaan dari USU dan luar negeri maka
berdirilah prodi ini. Orang yang kuat mendukung berdirinya institusi dalam
universitas ini adalah rektor USU saat itu yaitu Prof. Adi Putera Parlindungan
Lubis dan Dekan Fakultas Sastra yaitu Prof. Tengku Amin Ridwan, Ph.D. Keduanya
memang telah memiliki pengalaman pendidikan yang sangat dekat dengan lingkungan
seni budaya. Prof. Adi Putera Parlindungan sendiri memang sangat mencintai seni
budaya khususnya berasal dari kawasan budaya Mandailing walaupun beliau
menyelesaikan studinyasebagai doktor hukum agraria di Universitas Gajah Mada
(UGM) Yogyakarta. Sedangkan Prof. Tengku Amin Ridwan sendiri berlatar belakang
pendidikan doktoral linguistik dari Monash University Australia.
Dalam
periode awal berdirinya Etnomusikologi FIB USU ini, dibentuk pula Lembaga
Kesenian USU(LK USU) yang memperkenalkan kesenian Sumatera Utara dan Indonesia
ke manca negara,seperti Australia,Inggris,Belanda dan Amerika Serikat.
Adapun grup yang memainkan alat musik
mandailing yang terkenal di Medan bernama Gunung Kelabu yang berelasi dengan
etnomusikologi sendiri dan selaku pembinanya adalah Prof. Adi Putera
Parlindungan Lubis. Etnomusikologi sebagai satu-satunya jurusan musik yang ada
di Indonesia yang berada di bawah naungan Universitas sedangkan jurusan
etnomisikologi yang lain berada di bawah naungan sekolah tinggi.
2.2 Bentuk Gordang Sambilan
Urutan nama dari Gordang Sambilan di mulai
dari Gordang yang paling besar hingga yang paling kecil. Gordang yang pertama
dan kedua bernama Jangat. Gordang yang kelima dan keenam disebut patolu, yang
ketujuh dan kedelapan disebut pakdua, sedangkan yang terakhir disebut
etek-etek. Jumlah pemain gordang adalah lima orang.
2.3 Gordang Sambilan yang Ada di Etnomusikologi
USU
Gordang sambilan yang pertama di
etnomusikologi berasal dari Pakantan yang pada saat ini telah berada di Museum
Medan. Setelah meninggalnya orang pertama pendiri jurusan etnomusikologi usu
bapak Prof.Adi Putera Parlindungan maka Gordang Sambilan diserahkan kepada putranya
untuk dirawat, namun karena puteranya tidak mampu untuk menjaga gordang
sambilan yang ada maka gordang sambilan di pindah tempatkan di Museum Sumatera
Utara. Sampai sekarang gordang sambilan yang ada di jurusan etnomusikologi
telah mengalami pergantian sebanyak 5 kali diakibatkan oleh kerusakan gordang
itu ssendiri. Gordang sambilan yang pertama ada di etnomusikologi terbuat dari bahan
kayu ingol-ingol. Yang merupakan jenis kayu yang apabila digunakan gordangnya
terlihat indah. Sebenarnya, selain kayu ingol-ingol, gordang sambilan juga
dapat di buat dari bahan kayu lain, seperti kayu aren, mahoni, dan lain-lain.
Dari setiap bahan maka akan menghasilkan motif yang lain pula. Orang yang
membuat gordang sambilan adalah penduduk mandailing, dan cara kepemilikan dari
gordang sambilan dengan cara menempa dengan si pembuat langsung. Gordang
sambilan bukanlah alat musik sembarangan. Ia merupakan long dram terpanjang di
dunia, bentuk dan bunyinya unik dan khas. Dan merupakan kebanggaan suku
mandailing. Maka harga gordang pun tidak tanggung-tanggung. Harganya mencapai
dua puluh hingga enam puluh juta rupiah. Gordang sambilan yang ada di Sumatera
Utara sangat banyak jumlahnya. Dan gordang sambilan ini sebenarnya merupakan
alat musik yang sangat sakral, di percaya di dalamnya menyimpan kekuatan
leluhur sehingga tidak sembarangan dalam menggunakannya. Namun, gordang yang
ada di etnomusikologi saat ini hanya berupa gordang yang biasa atau dengan kata
lain dapat dimainkan oleh siapapun.
Adapun penggunaatau pemain gordang sambilan
dewasa ini boleh laki-laki ataupun perempuan. Sangat berbeda dengan zaman
dahulu. Siapa yang bisa memainkannya maka diperbolehkan untuk menggunakannya.
2.4 Prestasi Gordang Sambilan Etnomusikologi USU
Keberadaan Gordang Sambilan yang ada di etnomusikologi
yang sudah mencapai 33 tahun ternyata sudah menuai prestasi yang sangat
membanggakan tidak hanya dalam lingkup Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Sumatera Utara, Medan, Indonesia tetapi telah merambah dunia International.
Terbukti dengan ikut berpartisipasinya grup Gordang Sambilan Etnomusikologi USU
dalam Misi Kebudayaan pada tahun1983 di Australia, festival alat musik
kebudayaan pada tahun 1985 di Eropa tepatnya di negara Inggris yang juga
menampilkan alat musik kebudayaan dari negara India, China, Afrika dan
negara-negara lainnya. Tidak hanya itu, prestasi berikutnya mereka raih pada
tahun 1990 di Amerika. Kesemua acara itu melibatkan mahasiswa etnomusikologi
dan dosen-dosen etnomusikologi USU.
Prestasi yang telah di gapai oleh rekan-rekan
etnomusikologi dalam bidang alat musik Gordang Sambilan juga merambah ke
kota-kota di dalam negeri Ibu Pertiwi. Terbukti dengan pestasi yang baru-baru
ini di torehkan dengan mengisi acara perkawinan di Kota Batam, Kepulauan Riau.
Serta acara-acara dalam kampus USU sendiri, seperti membuka acara kunjungan
dari luar negeri, wisuda universitas, ulang tahun dosen, dies natalis USU dan
fakultas, dan lain-lain. Hinga kini, dalam setiap bulannya sekali sampai dua
kali gordang sambilan selalu digunakan.
Prestasi
yang baru saja diraih dan sudah seharusnya mendapat apresiasi setinggi- tingginya dari civitas akademika USU adalah
akan dirilisnya Gordang Sambilan dalam bentuk film dalam waktu dekat ini dengan
judul “Balada Gordang Sambilan”. Hal ini dituturkan langsung oleh Bapak
Drs.Sobir Lubis, SH dan Drs. Fadlin selaku orang yang memelopori film tersebut.
Terinspirasi dari isu tentang akan di klaimnya alat musik gordang sambilan oleh
negara jiran Malaysia yang ternyata mengundang amuk warga suku Mandailing maka
sebagai anak bangsa dan sudah seharusnya melestarikan kebudayaan yang ada
beliau terpanggil. Dengan lakon dari pelajar setingkat SMA dan sederajat
Mandailing, film ini akan di mainkan dengan latar di Madina.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Gordang Sambilan yang berada di Jurusan
Etnomusikologi USU merupakan gordang yang ke-5 setelah mengalami pergantian
2. Dewasa ini siapapun boleh memainkan alat musik
gordang sambilan, tidak terbatas pada laki-laki ataupun perempuan
3. Gordang Sambilan yang ada telah sering
digunakan dalam mengisi berbagai acara, seperti acara adat, pesta
pernikahan,penyambutan,pesta budaya, dan lain-lain
4. Kecintaan mahasiswa etnomusikologi terhadap
alat musik Gordang Sambilan semakin bertambah dari tahun ke tahun
3.2 Saran
1. Dengan banyaknya prestasi yang telah
ditorehkan dari gordang sambilan ini, sudah seharusnya civitas
akademika USU memberikan apresiasi yang besar
2. Mahasiswa sebagai estafet kelestarin budaya
Indonesia seharusnya mengambil peran besar terhadap penjagaan dan pelestarian
budaya ini, dengan tetap berkontribusi apapun terhadap kesenian-kesenian yang
ada.Dalam hal ini alat musik gordang sambilan
3. Mahasiswa Sastra China juga harus mengambil
peran dalam memajukan Gordang Sambilan di kancah international
DAFTAR PUSTAKA
Kepala Laboratorium Etnomusikologi USU (Drs.
Fadlin)
Pengurus Kodin Sumatera Utara (Drs. Sobir
Lubis, SH)
Bagian Perlengkapan Fakultas Ilmu Budaya USU
(Bapak Pulungan)
Mahasiswa Etnomusikologi stambuk 2011
(Afrindo, ardy, erwin)